IRON MAIDEN DAN WAJAH HEAVY METAL DI TENGAH PANDEMI


Beberapa minggu lalu, Iron Maiden, legenda
heavy metal dari Inggris, meluncurkan sebuah album terbaru yang berjudul Senjutsu. Album ini menjadi album ke-17 yang diluncurkan Iron Maiden di tengah pandemi. Album yang telah ditunggu lama oleh penggemarnya itu menawarkan sampul album yang tidak biasa. Dalam sampul tersebut, Eddie, maskot Iron Maiden yang begitu ikonik, ditampilkan sebagai seorang samurai yang siap untuk bertempur habis-habisan dalam medan pertempuran. Terlihat bahwa katana yang dipegang Eddie berlumuran darah. Gambaran tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa posisi Eddie sedang berada dalam pertaruhan besar yang sangat membahayakan dirinya, dibunuh atau membunuh!

Dari ketujuhbelas album yang pernah dirilis Iron Maiden, baru album Senjutsu-lah yang secara eksplisit menampilkan judul di luar bahasa Inggris. Tentu saja, hal ini menjadi sebuah kehormatan bagi para fans Iron Maiden di negara Matahari Terbit. Dalam bahasa dan budaya Jepang, Senjutsu merupakan istilah yang merujuk pada taktik dan strategi perang.  Kendati begitu, istilah ini sebenarnya tidak terlepas dari strategi perang yang melibatkan energi alam semesta sebagai sumber kekuatan yang tidak terkalahkan. Hubungan antara strategi perang dan keterlibatan energi alam semesta menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan di tengah pandemi pada masa kini. Apakah pemilihan judul album ke-17 ini berkaitan erat dengan perang terhadap Covid-19 yang sedang dicanangkan semua negara?

Saya mencoba menelusuri makna album Senjutsu ini melalui sejumlah lagu yang dibawakan Iron Maiden. Dari sepuluh lagu yang terdapat dalam album tersebut, saya tertarik pada enam lagu, yaitu Senjutsu, Death of the Celts, The Parchment, Hell on Earth, Lost in a Lost World, dan Darkest Hour. Senjutsu bukanlah jenis lagu yang menghentak-hentak, tetapi berderap sebagai bunyi gendering perang dan langkah kaki para pasukan menuju medan pertempuran. Hal ini searah dengan isi teks lagu tersebut yang berbicara tentang peringatan yang dilayangkan pemimpin perang kepada para pasukan dan masyarakat ketika musuh menyerang wilayah mereka. Lagu ini sangat menarik karena memiliki ruang yang begitu lebar bagi ketiga gitaris, Adrian Smith, Dave Murray, dan Janick Gers, untuk melakukan improvisasi yang artistik.

Death of the Celts menghadirkan kisah kepahlawanan (epic) tokoh historis seperti yang kerap ditampilkan Iron Maiden pada lagu-lagu seperti The Rime of Ancient Mariner (1984), Alexander the Great (1986), atau Empire of the Clouds (2015). Lagu itu dilantunkan dalam lirik-lirik naratif yang begitu sarat dengan refleksi kemanusiaan yang menggugah, tentang keberanian, kebebasan, dan kehidupan. Seperti lagu-lagu bertema epic lainnya, lagu Death of the Celts begitu sarat dengan berbagai tikungan ritem dan melodi yang panjang dan harmonis. Melodi-melodi yang begitu kuat dan intens seperti yang terdapat pada Death of the Celts dapat pula ditemukan dalam lagu The Parchment. Lagu berdurasi 12:39 ini mungkin menjadi lagu terpanjang di dalam album Senjutsu. Sejak album The Book of Souls diluncurkan pada tahun 2015, Iron Maiden kerap menampilkan lagu-lagu dengan durasi yang cukup panjang. Dengan konsep demikian, Iron Maiden sebagai salah satu band legendaris heavy metal, secara diam-diam telah bertransformasi sebagai sebuah band heavy metal progresif yang cenderung melakukan berbagai pengembangan estetika musik berbasis narasi seperti yang pernah dilakukan band art rock legendaris Pink Floyd, Genesis, atau Marillion. Di dalam lagu ini, generasi milineal yang menggemari lagu-lagu yang dibawakan band rock progresif seperti Dream Theater akan terasa dimanjakan oleh unjuk kemampuan instrumental yang dimainkan para personel Iron Maiden secara harmonis.

Hell on Earth dan Lost in a Lost World, menurut saya, menghadirkan komposisi lagu yang sangat kuat. Kedua lagu itu tidak hanya menawarkan inovasi musikal yang menarik terhadap pola lagu yang biasa dihasilkan Iron Maiden, tetapi juga menghadirkan persoalan yang berkaitan dengan sejumlah tragedi yang dialami kehidupan manusia di bumi ini. Peperangan yang dilakukan atas nama Tuhan yang masih terus berlangsung, keserakahan yang menghancurkan alam semesta, atau ketidakadilan sosial yang masih terjadi di dalam masyarakat dunia adalah segelintir persoalan yang menjadikan bumi sebagai neraka. Bahkan di dalam lagu Lost in a Lost World, kita juga diingatkan bahwa bumi yang kita tempati saat ini memang bukanlah bumi yang ideal. Namun, inilah tempat terbaik yang dapat kita tempati. Meski bumi masih menyimpan misteri kehidupan yang sulit kita selami, Iron Maiden meminta kita untuk tetap melanjutkan perziarahan ini sampai pada akhirnya kita menghilang.  

Will we ever heal our old wounds, like forever darkness worn. Fighting for their lives again so come on now, don't be afraid. This is where destiny lies, just to let us breathe again. Put upon this earth to wander and to walk forever lost.

Sementara itu, Darkest Hour menyingkapkan salah satu kepiawaian Iron Maiden dalam mengolah dan mengalihwahanakan teks susastra seperti mitologi menjadi sebuah lagu balada yang begitu kuat. Dalam Darkest Hour, Steve Harris dan kawan-kawan menyajikan salah satu episode kehidupan anak-anak Albion, putera Dewa Poseidon, yang berperan penting dalam  mitologi yang ditulis oleh William Blake, seorang penyair Inggris pada abad ke-18. Oleh masyarakat Inggris, Albion dipercaya sebagai penemu wilayah negara itu. Setelah ia mangkat, anak-anaknya bertugas untuk menjaga dan mempertahankan wilayah tersebut dari berbagai musuh yang hendak merebutnya dengan segenap jiwa raga mereka. Semangat cinta tanah air yang begitu patriotik dihadirkan secara menggetarkan dalam Darkest Hour.     

Bagi para metal head, album Senjutsu yang diluncurkan Iron Maiden menawarkan energi yang cukup menguatkan di tengah ketidakpastian yang disebabkan oleh pandemi. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa album ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan bila dibandingkan album-album Iron Maiden lainnya. Tempo yang ditampilkan kesepuluh lagu dalam album itu memang terdengar lebih lambat, tidak secepat lagu-lagu yang pernah ditelurkan Iron Maiden sebelumnya. Walaupun keenam personil band tersebut memiliki kemampuan di atas rata-rata, faktor usia, disadari atau tidak, sedikit menghalangi mereka untuk bermain sedikit lebih cepat.

Kendati begitu, nuansa lagu-lagu klasik Iron Maiden yang begitu berderap-derap masih sangat terasa begitu kental di dalam kesepuluh lagu dalam album Senjutsu.  Hal yang menarik adalah bahwa dalam album itu, Iron Maiden tidak berusaha untuk mencitrakan diri mereka sebagai band yang tidak pernah (mau) menua. Mereka justru berusaha bersikap rasional dan sekaligus bijaksana untuk menampilkan wajah heavy metal yang lebih matang. Kematangan itu terdengar jelas pada harmoni musik yang mereka usung. Mereka saling mengisi, melindungi, dan menyempurnakan, persis seperti sekelompok pasukan yang sedang berperang di medan pertempuran. Setiap personil tidak hanya bertanggungjawab untuk menjaga tempo dan ritme musik, tetapi juga bertanggungjawab untuk memberikan nyawa pada setiap lagu yang dihadirkan. 

Dengan begitu, apakah judul Senjutsu yang disematkan dalam album itu ingin menyuarakan sebuah formula yang penting untuk kita perhatikan di tengah pandemi bahwa salah satu upaya untuk bertahan dalam peperangan melawan Covid pada saat ini adalah bertahan bersama sebagai sekelompok pasukan yang mati-matian saling memberikan perlindungan? Suara dari Iron Maiden mungkin perlu kita dengarkan….   

Sumber gambar : Iron Maiden – Senjutsu (2021, Slipcover , CD) - Discogs

Komentar